Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang) musik India. Putu Wijaya awalnya menyebut dalam majalah Tempo edisi 27 Mei 1972 bahwa lagu Boneka dari India adalah campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan "dang-ding-dut" India. Sebutan ini selanjutnya diringkas menjadi "dangdut" saja, dan oleh majalah tersebut digunakan untuk menyebut bentuk lagu Melayu yang terpengaruh oleh lagu India.
Musik dangdut tidak akan jauh dari sebutan Orkes
Melayu yang biasa disingkat OM yaitu sebutan yang masih sering dipakai
untuk suatu grup musik dangdut asli yang menggunakan alat musik
seperti gitar akustik, akordeon, rebana, gambus, dan suling, bahkan gong. Pada
tahun 1950-an dan 1960-an banyak berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang
memainkan lagu-lagu Melayu Deli dari Sumatera (sekitar Medan). Pada masa ini
mulai masuk eksperimen masuknya unsur India dalam musik Melayu. Perkembangan
dunia sinema pada masa itu dan politik anti-Barat dari Presiden Sukarno menjadi
pupuk bagi grup-grup ini. Dari masa ini dapat dicatat nama-nama seperti P.
Ramlee (dari Malaya), Said Effendi (dengan lagu Seroja), Ellya (dengan gaya
panggung seperti penari India, sang pencipta Boneka dari India), Husein Bawafie
(salah seorang penulis lagu Ratapan Anak Tiri), Munif Bahaswan (pencipta Beban
Asmara), serta M. Mashabi (pencipta skor film "Ratapan Anak Tiri"
yang sangat populer di tahun 1970-an).
Gaya bermusik masa ini masih terus bertahan hingga 1970-an, walaupun pada saat itu juga terjadi perubahan besar di kancah musik Melayu yang dimotori oleh Soneta Group pimpinan Rhoma Irama. Beberapa nama dari masa 1970-an yang dapat disebut adalah Mansyur S., Ida Laila, A. Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu dapat dilihat dari keluarnya beberapa album pop Melayu oleh kelompok musik pop Koes Plus di masa jayanya.
Rhoma Irama |
Gaya bermusik masa ini masih terus bertahan hingga 1970-an, walaupun pada saat itu juga terjadi perubahan besar di kancah musik Melayu yang dimotori oleh Soneta Group pimpinan Rhoma Irama. Beberapa nama dari masa 1970-an yang dapat disebut adalah Mansyur S., Ida Laila, A. Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu dapat dilihat dari keluarnya beberapa album pop Melayu oleh kelompok musik pop Koes Plus di masa jayanya.
Dangdut modern,
yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan politik Indonesia yang
ramah terhadap budaya Barat, memasukkan alat-alat musik modern Barat seperti
gitar listrik, organ elektrik, perkusi, trompet, saksofon, obo, dan lain-lain
untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas pemusik-pemusiknya.
Mandolin juga masuk sebagai unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan
gitar) sangat kental terasa pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang
'pertempuran' bagi musik dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik
Indonesia, hingga pernah diadakan konser 'duel' antara Soneta Group dan God
Bless. Praktis sejak masa ini musik Melayu telah berubah, termasuk dalam pola
bisnis bermusiknya.
Dangdut di Indonesia dinilai sangat elastis
dalam menghadapi dan memengaruhi bentuk musik yang lain. Lagu-lagu barat
populer pada tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang didangdutkan. Genre musik
gambus dan kasidah perlahan-lahan hanyut dalam arus cara bermusik dangdut. Hal
yang sama terjadi pada musik tarling dari Cirebon sehingga yang masih eksis
pada saat ini adalah bentuk campurannya: tarlingdut.
Musik rock, pop,
disko, house bersenyawa dengan baik dalam musik dangdut. Aliran campuran antara
musik dangdut & rock secara tidak resmi dinamakan Rockdut. Demikian pula
yang terjadi dengan musik-musik daerah seperti jaipongan, degung, tarling,
keroncong, langgam Jawa (dikenal sebagai suatu bentuk musik campur sari yang
dinamakan congdut, dengan tokohnya Didi Kempot), atau zapin.
Mudahnya dangdut
menerima unsur 'asing' menjadikannya rentan terhadap bentuk-bentuk pembajakan,
seperti yang banyak terjadi terhadap lagu-lagu dari film ala Bollywood dan
lagu-lagu latin. Kopi Dangdut, misalnya, adalah "bajakan" lagu yang
populer dari Venezuela.
Rhoma Irama yang sudah dikenal sebagai raja dangdut
Indonesia menjadikan dangdut sebagai alat berdakwahnya, yang terlihat
dari lirik-lirik lagu ciptaannya serta dari pernyataan yang dikeluarkannya
sendiri. Hal ini menjadi salah satu pemicu polemik di Indonesia pada tahun
2003, akibat protesnya terhadap gaya panggung para penyanyi dangdut, antara
lain Inul Daratista, yang goyang ngebor-nya yang dicap dekaden serta "merusak
moral".
Jauh sebelumnya,
dangdut juga telah mengundang perdebatan dan berakhir dengan pelarangan
panggung dangdut dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Perdebatan muncul
lagi-lagi akibat gaya panggung penyanyi (wanita)-nya yang dinilai terlalu
"terbuka" dan berselera rendah, sehingga tidak sesuai dengan misi
Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan.
Dangdut memang
disepakati banyak kalangan sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan
masyarakat kelas bawah dengan segala kesederhanaan dan kelugasannya. Ciri khas
ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional
tidak terlepas dari napas ini. Panggung kampanye partai politik juga tidak
ketinggalan memanfaatkan kepopuleran dangdut untuk menarik massa. Isu dangdut
sebagai alat politik juga menyeruak ketika Basofi Sudirman, pada saat itu
sebagai fungsionaris Golkar, menyanyi lagu dangdut.
Walaupun dangdut
diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan berarti dangdut hanya
digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat dipastikan turut
serta meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah dijumpai di
berbagai tempat. Tempat hiburan dan diskotek yang khusus memutar lagu-lagu
dangdut banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan
dirinya sebagai "radio dangdut" juga mudah ditemui di berbagai kota.
0 komentar: